Sejarah Tasawuf – 10


Meskipun karya-karya Ibn Arabi begitu sulit dan terkesan sangat filosofis dan akademis, namun sesungguhnya karya-karya Ibn Arabi dapat dikategorikan sebagai sebentuk sastra ruhani. Kitab seperti Fusush al-Hikam, Futuhat al-Makiyyah disusun dalam gaya yang “tidak beraturan” atau tak sistematis. Fusush al-Hikam adalah karya ringkas dan sangat padat dengan ekspresi yang indah. Karya ini menyatukan tema-tema besar dari metafisika Ibn Arabi. Karena gayanya yang simbolik dan indah, karya ini menjadi karya kontroversial, hingga tak sedikit yg menuduh Ibn Arabi menyebarkan ajaran yg sesat. Kritik ini datang dari berbagai kalangan, mulai dari masa Ibn Taimiyyah hingga sekarang.

Pengikut Syekh Akbar Ibn Arabi mengatakan bahwa Fusush al-Hikam adalah kitab ringkas paling berharga dari Syekh Ibn ‘Arabi, salah satu kitab lengkap terakhir yang ditulis berdasarkan ilham Ilahiah saat beliau berada di maqam yang diistilahkannya sebagai “Maqam Muhammadiyyah.” Karenanya, menurut penerus dan putra angkatnya, Syekh Sadruddin Qunawi, kitab ini memuat pengetahuan tentang persepsi ruhani atau dzawq dari Rasulullah SAW. Kitab ini juga memuat keterangan yang padat dan penuh perlambang dari sumber-sumber ruhani dari setiap Nabi yang disebutkan di dalamnya. Di dalamnya dijelaskan berkah dan makna dari dzawq kenabian, tujuan dan ilham masing-masing nabi, ringkasan dari pencapaian ruhani para nabi dan hasil dari kesempurnaan yang diraih oleh para nabi, dan semua itu hanya bisa dipahami dengan sempurna oleh orang-orang yang memiliki bashirah, para arif billah. Jadi, kitab ini semacam cap atau segel untuk segala sesuatu yang ada di dalamnya.

Mengingat para Sufi, dan khususnya Ibn Arabi dalam kasus ini, lebih mengutamakan ajarannya pada dua pilar utama Islam – Qur’an dan hadits – dan pada pemahaman syariat yang disertai dengan penyingkapan ruhani (kasyaf), maka penjelasan metafisika, kosmologi, spiritual dan moral (akhlaq) di dalamnya diberikan di dalam kerangka Nama dan Sifat Tuhan (al-asma wa al-sifat al-ilahiyyah).

Karena kitab ini ditulis oleh Ibn Arabi saat beliau di “Maqam Muhammad”, dan karena Nabi Muhammad adalah nabi terbesar dan terakhir, maka maqamnya meliputi segala kesempurnaan yang dimiliki oleh nabi-nabi lain; kesempurnaan nabi-nabi lain, menurut perspektif ini, tak lain adalah refraksi atau pantulan yang beraneka-warna dari cahaya Nabi (haqiqat al-Muhammadiyyah, Nur Muhammad). Maka, Fusush al-Hikam tidak tersusun secara “logis.” Jika kita membacanya secara keseluruhan, maka tampak kesan bahwa kitab ini tidak tertata secara sistematis dan tidak mengandung kontinuitas atau kesinambungan antar bab. Karenanya, menurut Sadruddin Qunawi, untuk memahami isi kitab ini, (dan juga kitab Futuhat al-Makiyyah) seseorang membutuhkan pemahaman tentang akar dari dzawq (persepsi spiritual) Syekh al-Akbar Ibn Arabi dan limpahan nur keilmuan yang dimiliki oleh Syekh al-Akbar; dengan kata lain, ia harus mendapat bimbingan dari Syekh Akbar atau penerusnya yang telah mendapat “ijazah” atau otoritas untuk mengajarkannya.

Setiap bab dalam Kitab Fusush al-Hikam menjelaskan peran dan makna ruhani nabi tertentu, atau inti dari hikmah Ilahiah yang diwakili oleh nabi tertentu – dalam kitab ini disebutkan 27 Nabi, diawali dengan Inti Hikmah Ilahiah dari (Logos) Adam, dan diakhiri dengan Inti Hikmah Keesaan (atau Universalitas) dari Muhammad.

Nabi adalah “ayat” langsung dari Allah yang dikirim untuk tujuan tertentu. Mereka diutus untuk memberi “kabar” (naba), sehingga para nabi adalah ayat yang paling jelas dalam mengungkapkan Keberadaan Tuhan dibanding ayat-ayat lain. Ibn Arabi menerjemahkan gagasan ini dengan menyatakan bahwa para nabi adalah tempat dari perwujudan Nama-Nama Ilahi Universal (asma-al-Husna), yang jumlahnya disebutkan 99, bukan perwujudan Nama Ilahi khusus, yang jumlahnya tak terhitung. Karenanya, membahas atau mempelajari para nabi dan ajarannya sama artinya dengan membahas bagaimana Nama-nama Tuhan itu bekerja di alam semesta.

.Al-Qaysari, salah satu penafsir utama Ibn Arabi, mengatakan, “Jika kita mengartikan fass sebagai inti, maka inti dari masing-masing hikmah itu merupakan inti ilmu rahasia Ilahiah yang diaktualisasikan oleh ruh dari nabi tertentu; ilmu rahasia Ketuhanan ini terkandung di dalam Asma Ilahi yang mendominasi nabi tertentu. Jika fass kita artikan cap atau segel, maka segel dari setiap hikmah Ilahiah ini adalah hati (dari nabi). Segel ini menjaga kandungan terdapat pengetahuan ilahiah khusus yang dianugerahkan ke dalam hati dari masing-masing nabi.” Dengan kata lain, kitab ini mengandung ilmu rahasia tentang inti dari fungsi para nabi yang disebutkan di dalam kitab Fusush al-Hikam.

Magnum opus kedua, Futuhat al-Makiyyah oleh sebagian kalangan Sufi disebut sebagai “kitab teragung tentang ilmu ini (tasawuf) yang pernah ditulis … dan paling istimewa dari segi kandungan dan keluasannya.” Seperti Kitab Fusush, kitab Futuhat juga tidak beraturan dalam hal susunan struktur babnya. Bab satu dengan bab lainnya tidak saling berhubungan, atau melompat-lompat dan tidak menunjukkan korelasi yang logis atau tidak menunjukkan kesinambungan pemikiran. Barangkali penyebabnya adalah seperti yang dikatakan oleh Ibn ‘Arabi sendiri, “Aku tak menulis satu hurufpun di kitab ini selain yang didiktekan oleh Tuhan.” Dengan kata lain, kitab ini ditulis berdasarkan dikte yang diperintahkan oleh Tuhan, dan karenanya Ibn Arabi tidak melibatkan pemikirannya sendiri dalam penyusunannya – kitab ini murni dari ilham rabbaniyyah.

Ibn Arabi memberikan analogi antara kitabnya dengan kitab Qur’an. Seperti dijelaskannya, “Di sini, di antara ayat-ayat (al-Qur’an) yang tampak tidak urut dan terkesan tak saling terkait, sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat rahasia … Jika engkau menghubungkan setiap ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya, maka kekuatan Kalam Ilahi akan muncul .. tetapi pemahaman hubungan yang rahasia ini hanya bisa didapatkan oleh orang-orang yang sempurna keruhaniannya (arif billah).”

Misteri dari “ketidakurutan” ini ada dalam salah satu konsep utama yang dipakai oleh para salik: “uruj,” atau pendakian, yakni pendakian dalam perjalanan ruhani menuju Tuhan. Sebagai contoh, urutan surat dalam Qur’an jika dilihat dari belakang akan menunjukkan hal ini dengan jelas. Surat terakhir adalah an-Nas (manusia) dan yang pertama adalah al-Fatihah (Pembuka). Dengan kata lain, perjalanan ruhani manusia adalah diawali dari titik terjauh dari tajalli Tuhan (yang dilambangkan dengan “Nas”) untuk kembali menuju ke Pencerahan atau Keterbukaan dalam memahami induk segala kitab (Umm al-Kitab) yang merupakan “pembuka” (al-Fatihah) untuk mengenal Allah (ma’rifatullah). Menurut seorang peneliti karya-karya Ibn Arabi, M. Chodkiewics, pola susunan bab dalam Futuhat al-Makiyyah berkorespondensi dengan 114 surat dalam al-Qur’an. Salah satu contoh, dalam pembahasan tentang bab Manzil, manzil ketiga, manzil tanzil al-tawhid, berkaitan dengan urutan ketiga dari posisi terakhir, yakni surat al-Ikhlas, yang temanya adalah Keesaan Tuhan. Sedangkan manzil ke-114, manzil al-azama al-jamia adalah berkorespondensi dengan Ummul Kitab. Contoh lain dari relasi-relasi tersembunyi dalam kitab yang kelihatan tak beraturan ini adalah jumlah babnya, 560 Bab. Jumlah ini adalah jumlah dari kata di dalam surat al-Fath, atau dari sisi lain, 560 H adalah tahun kelahiran Ibn Arabi. Ringkasnya, karena ini adalah kitab “esoterik” atau kitab ruhani yang bukan lahir dari upaya akal, tetapi dari upaya keruhanian dan dari ilham Ilahi, maka dibutuhkan lebih dari sekadar kemampuan akal untuk memahami kandungannya.

Selain menulis kitab yang tampak rumit secara filosofis itu, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penyair. Beliau menulis banyak sajak ruhani, dan salah satunya yang terkenal adalah Tarjuman al-Ashwaq, sebuah sajak cinta yang bergelora, dan terkesan erotis. Kitab ini menjadi sasaran kecaman para penentang Ibn Arabi, terutama Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya.

Sajak-sajak Ibn ‘Arabi barangkali adalah salah satu dari sekian banyak karya puisi Sufi yang lahir di abad itu. Jadi, selain munculnya kitab-kitab Tasawuf yang berisi uraian dan pemikiran yang sarat perenungan, sesungguhnya pada masa ini juga muncul pula para penyair Sufi yang luar biasa, dan karya mereka sebagian mengguncang dunia Islam, bahkan dikenal hingga ke dunia luar Islam. Di antara para penyair sufi yang hidup hampir sezaman, atau sezaman dengan Ibn Arabi itu antara lain adalah Ruzbihan Baqli (salah satu guru sufi Persia terbesar, yang mewarisi tradisi Abu Yazid al-Bisthami dan al-Hallaj; Baqli terkenal karena mengungkapkan ajaran cinta membara (ishq) kepada Tuhan); Ibn al-Farid, penyair besar yang sezaman dengan Ibn Arabi. Ibn Farid terkenal berkat “Syair Anggur” nya; Fakruddin Iraqi, sahabat sekaligus murid Sadruddin Qunawi. Iraqi menerjemahkan ajaran Tasawuf Ibn Arabi ke dalam sajak-sajak yang indah; Sana’i, yang terkenal dengan lirik-liriknya yang lembut. Salah satu sajaknya yang terkenal hingga ke luar dunia Islam adalah Syair al-ibad ila al-ma’ad, Perjalanan Abdi Menuju Tempat Kembali. Sebagian orientalis menyebut bahwa tema syair Sana’i ini menjadi salah satu sumber dari sajak Italia terkenal, Divine Comedy karya Comte; juga ada Fariduddin Attar, penyair sufi yang terkenal berkat karya koleksi biografi Wali, Tadhkirat al-Awliya dan risalah Manthiq at-Thayr (Musyawarah Burung), yang melambangkan perjalanan salik menuju ke Tuhan mereka melalui berbagai hambatan dan tujuh lembah dan gunung yang sulit dilalui. Gaya bahasa dalam Mantiq at-Thayr menjadi semacam patokan dan ilham bagi para penyair sufi generasi selanjutnya. Dua kitab Attar ini menjadi karya sastra Persia yang paling terkenal; dan, tentu saja satu lagi penyair Sufi terbesar sepanjang zaman, Maulana Jalaluddin Rumi, yang sajaknya digemari hingga sekarang bahkan oleh para nonMuslim sekalipun.

Jelas, membicarakan sejarah Tasawuf mau tak mau harus menyebut nama penyair dari Konya ini. Maulana Rumi mengilhami dan memengaruhi banyak penyair, baik itu penyair sufi, penyair non-sufi, bahkan juga penyair non-Islam…

Tentang S'Jamil
Pertama-tama saya adalah seorang anak manusia. Kemudian saya adalah seorang suami, kemudian seorang ayah. Namun tetap saya adalah seorang anak manusia, meski sudah menjadi seorang suami dan seorang ayah.

One Response to Sejarah Tasawuf – 10

Tinggalkan komentar