Sejarah Tasawuf – 11


Ibn Arabi terkadang dianggap sebagai SUlthan Kaum Arifin, dan Maulana Rumi terkadang dianggap sebagai Sulthan Kaum Muhibbin, meski julukan ini sesungguhnya kurang tepat karena keduanya sama-sama arif billah dan sama-sama mencintai Tuhan (dan bahkan, dalam kenyataannya, Ibn Arabi juga mengajarkan ajaran Cinta dan Rahmat Allah yang tak terbatas). Tetapi gaya ungkap Rumi yg lebih puitis dan syair-syairnya yang mencapai 25,000 bait, membuatnya lebih dikenal sebagai Sufi-penyair pecinta Tuhan yang luar biasa.

Namun peralihan Rumi menjadi penyair tak terjadi serta-merta. Hagiografi Rumi menunjukkan adanya semacam pergeseran dahsyat sebagai akibat dari pertemuan dengan Wali Allah yang misterius. Kisah Rumi ini menunjukkan bahwa di jalan tarekat, selalu dibutuhkan mursyid yang tidak hanya sekadar mampu membimbing, namun juga sanggup membimbing murid-muridnya untuk mengembangkan potensi kapasitas murid yang masih terpendam sehingga si murid mencapai maqam spiritual yang tinggi berdasarkan potensi uniknya, bukan berdasarkan potensi murshid. Karenanya dalam sejarah Tasawuf kita selalu melihat kisah murid yang melampaui kapasitas ruhani murshidnya, sebab memang potensi yg terpendam melampaui potensi gurunya. Namun ini bukan berarti bahwa Murshid lantas menjadi lebih rendah kedudukannya. Di satu sisi, adalah benar bahwa murid tak jarang melampaui gurunya dalam hal kedudukan ruhaninya, namun pencapaian ini tetaplah “dibukakan” oleh sang guru. Karena itu, dalam semua tradisi Tasawuf dan tarekat, semua murid yg sudah menempati maqam setinggi apapun, akan selalu hormat dan tunduk kepada gurunya. sebaliknya, sang guru juga menempatkan diri sesuai dengan maqamnya dengan menghormati sang murid. HUbungan saling menghormati inilah yang menyebabkan silsilah ruhani terus terjaga dengan baik.

Rumi dibesarkan dalam era suram peradaban Islam. Pasukan MOngol yg perkasa sudah melaju mendekati pusat peradaban Islam di Baghdad yg sudah lemah lantaran pertikaian internal antar keluarga khalifah. Ayah Rumi, Bahauddin Walad, yg juga seorang sufi dan arif billah, mendapat ilham untuk membawa putranya pindah. Syekh Bahauddin menempati posisi terhormat sebagai ulama resmi negeri Seljuk. Kelak, setelah Bahauddin Walad meninggal, Rumi menggantikan posisinya. Rumi dihormati sebagai ulama besar, ahli fiqh dan ahli ahli tafsir yg hebat. Meski demikian, kecenderungan ke arah dunia Tasawuf sudah ada di dalam diri Rumi sejak beliau masih kecil. Pada usia 5 tahun beliau sudah dikaruniai kasyaf mampu melihat alam lain, seperti melihat ruh-ruh para Wali dan malaikat.

Titik balik utama pergeseran Rumi ke dunia Tasawuf adalah setelah beliau bertemu dengan Sufi pengembara, atau Qalandar, yang dikenal dengan nama Syamsuddin dari Tabriz. Karenanya, kita perlu tengok sejenak siapakah guru dari Maulana Rumi yang misterius dan ganjil ini, yg menyebabkan Rumi “lahir kembali” menjadi Wali Allah sekaligus penyair cinta-mistis yang paling besar dalam sepanjang sejarah Tasawuf.

Syamsuddin Tabrizi, Wali Allah yang misterius, salah seorang dari kaum qalandar, para sufi pengelana, yang dijuluki Syamsi Perende, “Matahari Terbang,” yang telah berpaling sepenuhnya dari perhatian duniawi. Beliau adalah guru sekaligus sahabat Maulana JALALUDDIN RUMI. Syekh Syamsuddin Tabriz adalah sosok yang mengubah kehidupan Maulana Rumi, menjadi sumber inspirasi bagi sajak-sajaknya. Hubungan beliau dan Rumi bagaikan hubungan Khidir dengan Nabi Musa as.

Tak banyak diketahui tentang kelahiran dan masa kecilnya. Hanya diketahui bahwa, seperti Wali Allah lainnya, Syekh Syams sejak kecil sebelum akil baligh sudah rajin berpuasa dan senang menyendiri. Beliau tampaknya tidak mengenyam pendidikan yang memadai. Namun beliau sangat memahami sajak Islami dan kehidupan Sufi. Beliau mendalami fiqh Syafi’i. Konon sejak kecil beliau sudah bergaul dengan 70 Sufi yang telah ma’rifat. Beliau juga mendapat pendidikan dari seorang Wali misterius lainnya, Firi Sallibaf, yang mengajarkannya perenungan dan sama’ dan tarian berputar. Kelak tarian gasing ini diperkenalkannya kepada Maulana Rumi. Beliau pernah beristri, namun tidak jelas bagaimana nasib istrinya itu setelah beliau mulai suka mengembara. Syekh Syams menghabiskan masa dewasa dan tuanya dengan berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya, mencari pembimbing Wali agung dalam perjalanannya menempuh jalan Tasawuf. Beliau mengembara hingga ke Baghdad, Damaskus, Aleppo, Kayseri, Aqsara, Sivas, Erzerum dan Erzincan. Selama pengembaraannya pada kurun waktu 1202 hingga 1204 di Damaskus kemungkinan besar beliau sempat bertemu dengan Syekh Akbar Muhyiddin IBN ‘ARABI. Walaupun beliau lebih gemar pada jalan Sufi namun beliau juga kerap melontarkan kritik kepada ulama yang menurutnya tidak selaras dengan syari’at dan hukum Islam. Beliau terutama sangat kritis kepada orang-orang yang mengakui Sufi tetapi tidak peduli pada syari’at dan hukum Islam. Namun kehidupan spiritualnya yang mendalam pada masa remajanya belum dikenal banyak orang. Beliau menyembunyikan karamah-karamahnya.

Karena jarang bergaul dengan orang, Syekh Syams sering merasa kesepian karena tak punya sahabat yang sederajat dalam perjalanan ruhani. Beliau menulis, “Aku biasa bicara dengan diriku sendiri … Aku menginginkan orang yang seperti aku yang bisa menjadi kiblatku. Aku terlalu letih dengan diriku sendiri.

Pada akhirnya beliau bertemu dengan sosok yang diharapkannya pada 29 November 1244 – yakni Maulana Jalaluddin Rumi. Menurut legenda, beliau dibimbing bertemu dengan Maulana Rumi melalui sebuah ilham. Syekh Syams berdoa minta dipertemukan dengan salah satu Wali Allah. Dan kemudian beliau mendapat ilham untuk menemui salah seorang putra Pemimpin Ulama Syekh Bahauddin Walad yang bernama Jalaluddin yang tinggal di Rum. Dalam pertemuan mereka yang menentukan, Syekh Syamsuddin bertanya tentang perbandingan maqam Nabi Muhammad saw dengan maqam Abu Yazid al-Bisthami. Maulana Rumi kemudian menjelaskan alasan kenapa kedudukan Nabi Muhammad jauh lebih tinggi ketimbang Abu Yazid. Sejak itulah mereka selalu bersama, “larut bagai gula dalam susu.”

Maulana Rumi menghabiskan hari-harinya hanya berdua saja dengan Syekh Syamsuddin Tabriz, yang kemudian memperkenalkan tarian gasing dan sama’ kepada Maulana Rumi. Persahabatan keduanya menimbulkan kecemburuan di kalangan murid-murid Maulana Rumi. Akhirnya suatu hari Syekh Syamsuddin meninggalkan Konya, tetapi kemudian kembali lagi setelah dicari-cari oleh Sultan Walad, putra Maulana Rumi, dan beliau menetap di Konya sampai 645 H (1247 H). Pada tahun itu pula beliau menghilang lagi – kali ini diyakini beliau dibunuh oleh beberapa murid Maulana Rumi yang iri dengannya; dan diperkirakan putra Maulana Rumi yang bernama Alauddin ikut terlibat dalam pembunuhan ini. Sejak Syamsuddin tiada, Maulana Rumi mulai tenggelam dalam penciptaan sajak-sajak yang diilhami oleh persahabatannya dengan Syekh Syamsuddin Tabriz. Sajak-sajak itu kelak dikumpulkan dalam Diwan-i Syamsi Tabriz, salah satu mahakarya Maulana Rumi.

Syekh Syams sendiri tampaknya menyadari bahwa masyarakat awam menganggap penampilan dan kelakuannya aneh dan tak wajar. Beliau menyatakan dirinya tak punya urusan apapun di dunia ini dengan orang awam: “Aku tak datang untuk mereka. Aku akan menjadi teman setia bagi siapapun yang menuntun dunia menuju Tuhan.” Gaya bicaranya juga sulit dipahami orang awam dan bahkan kerap menyinggung. Mengenai hal ini beliau sendiri mengakui dalam salah satu tulisannya:

“Wajar bila orang awam tak terbiasa dengan gaya bicaraku. Semua kalimatku keluar dalam modus keagungan (kibriya) – sehingga secara harfiah seperti tak berdasar. Sementara kalimat al-Qur’an dan ucapan Nabi Muhammad saw mengalir dalam modus kebutuhan (ma’na) sehingga menjelma menjadi makna.”

Inilah sebabnya orang awam yang masih dalam batas modus kebutuhan tidak mungkin memahami ucapan-ucapan keagungan yang tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan – seperti ucapan-ucapan syatahat Hallaj atau Abu Yazid al-Bisthami.

Tentang S'Jamil
Pertama-tama saya adalah seorang anak manusia. Kemudian saya adalah seorang suami, kemudian seorang ayah. Namun tetap saya adalah seorang anak manusia, meski sudah menjadi seorang suami dan seorang ayah.

Tinggalkan komentar